Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dipecat, Bagaimana Legitimasi Pemilu 2024
Jakarta, Mitrapubliknews.com --Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dalam bentuk tindak asusila.
Kiprah Hasyim menjadi Ketua KPU selama ini tak luput dari kontroversi. Sejak awal tahun 2023 lalu, Hasyim sudah kerap kali dijatuhi sanksi peringatan hingga peringatan keras oleh DKPP lantaran melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Pada Maret 2023 misalnya, DKPP memutuskan Hasyim melanggar kode etik karena pernyataannya soal sistem proporsional tertutup. DKPP kemudian menjatuhkan sanksi peringatan kepada Hasyim.
Lalu pada April 2023, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim karena memiliki hubungan pribadi dengan Hasnaeni Moein alias 'Wanita Emas'.
Kemudian pada Oktober 2023, Hasyim diberi sanksi peringatan keras terkait keterwakilan caleg perempuan yang bertentangan dengan UU Pemilu.
Rentetan kontroversi masih berlanjut di tahun 2024. Pada Februari, DKPP memberikan sanksi peringatan keras kepada Hasyim dan enam anggota KPU lantaran KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Satu bulan kemudian, DKPP kembali menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Hasyim dan Komisioner KPU Mochammad Afifuddin karena tidak menjalankan putusan PTUN Jakarta untuk memasukkan nama Irman Gusman ke Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2024.
Selanjutnya di bulan Mei, DKPP lagi-lagi menjatuhi sanksi berupa peringatan kepada Hasyim dan semua anggota KPU soal kebocoran ratusan data pemilih tetap (DPT).
Puncaknya, adalah sanksi pemecatan yang dijatuhkan oleh DKPP terhadap Hasyim dalam pengucapan putusan di Gedung DKPP, Jakarta, Rabu (3/7).
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan rentetan pelanggaran yang dilakukan oleh Hasyim berpengaruh terhadap citra dan kredibilitas KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu. Apalagi, kini Hasyim dijatuhi sanksi pemecatan.
"Keputusan pemberhentian pucuk pimpinan KPU, simbol lembaga KPU karena melakukan perbuatan yang sangat sensitif dan baru pertama kali terjadi di dalam sejarah KPU," kata Titi saat dihubungi, Rabu (3/7) malam.
Rentetan pelanggaran dan sanksi terhadap Hasyim ini, kata Titi, juga berdampak pada legitimasi hasil pemilu yang dilakukan oleh KPU.
Meskipun, dalam beberapa kasus, kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Hasyim dilakukan secara personal.
"Dari sisi legitimasi pasti tidak terhindarkan, akan terus dikaitkan antara produk pemilu dengan integritas penyelenggara pemilunya, itu sesuatu yang tidak terhindarkan bahwa proses pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang anggotanya tidak berintegritas," ucap dia.
Senada, anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah Castro juga menyebut pelanggaran kode etik dan sanksi terhadap Hasyim ini akan berdampak pada legitimasi hasil pemilu, baik Pilpres maupun Pileg.
Sebab, menurut Castro, hal ini tidak hanya terkait dengan Hasyim semata, tetapi juga menyangkut KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu.
"Nah kalau logikanya gini, bagaimana mungkin sapu kotor itu bisa menghasilkan hasil pemilu bersih, pasti akan kotor juga kan, bayangan publik kalau penyelenggaranya busuk, tanda petik ya, penyelenggaranya kotor, otomatis hasil-hasil atau kerja-kerja yang dihasilkan juga akan menjadi pertanyaan bagi publik karena kemungkinan besar juga kotor, kan itu persepsi yang terbangun akibat sanksi pemecatan terhadap Hasyim Asy'ari," tutur Castro.
Hilang kepercayaan pada Pemilu
Hal serupa juga disampaikan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati.
Kata Neni, pelanggaran kode etik berulang kali oleh Hasyim selaku ketua KPU menjadi permasalahan yang sangat serius.
Sebab, hal tersebut secara tidak langsung berdampak pada kepercayaan publik terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu.
"Publik tentu semakin hilang kepercayaan atas ulah yang dilakukan oleh ketua KPU, baik itu terhadap pelaksanaan pemilu maupun hasilnya," ujarnya.
Fit and proper test sebatas prosedur
Sebelum terpilih, para calon anggota KPU lebih dulu menjalani uji kelayakan dan kepatutan alias fit and proper test di Komisi II DPR.
Neni menyebut pihaknya selama ini sudah kerap mengingatkan terkait transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan anggota KPU. Termasuk, soal pengecekan terhadap rekam jejak para calon.
"Ini kan sangat disayangkan sekali begitu ya, karena hanya dengan preferensi politik yang mereka punya, masing-masing parpol punya prefrensi, pada akhirnya tidak melihat dari sisi integritasnya," ucap Neni.
Neni mengatakan persoalan ini tak hanya di KPU pusat saja, tetapi juga terjadi di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Bahkan, menurut Neni, proses rekruitmen anggota KPU yang selama ini terjadi hanya sebatas prosedural.
"Buat saya rekruitmen dan seleksi hanya sebatas prosedural saja, tapi tidak substansial, bagaimana ada kepentingan substansi untuk menyelematkan demokrasi ini," kata dia.
"Banyak penyelenggara pemilu yang tidak kapabel, tidak pnya kapasitas, kapabiltas, bahkan knowledge tentang kepemiluan itu something they dont know, tapi masuk dan lolos sebagai penyelenggara pemilu," sambungnya.
Castro pun menyoroti soal uji kelayakan dan kepatutan anggota KPU yang dilakukan di DPR. Menurutnya, hal ini membuka ruang terjadinya transaksi kepentingan, termasuk politik.
"Yang menjadi problem sebenarnya kan adalah kanal uji kelayakannya, fit and proper-nya kan dilakukan di DPR kan, nah itu yang bagi kami kalau teman-teman hukum tata negara selalu menyebut bahwa KPU ini jenis kelaminnya adaah lembaga semi politik," tutur Castro.
Castro berpendapat hal tersebut harus diubah dan perlu dibuat sebuah formula khusus terkait proses pemilihan anggota KPU.
"Mesti dibuatkan formulasi yangebih tepat untuk menghindari politisasi dan sifat transaksional ketika proses pemilihan," ujarnya.
Lebih lanjut, Titi menyampaikan putusan DKPP memecat Hasyim harus menjadi momen bagi KPU untuk segera berbenah. Apalagi, sebentar lagi KPU akan dihadapkan dengan agenda Pilkada Serentak 2024.
"KPU harus segera berbenah, harus memperbaiki kinerja kelembagaan, kemudian memastikan proses Pilkada, tidak mengulangi tindakan melanggar etika penyelenggara pemilu yang bisa memperburuk citra KPU," ucap dia.
Momen ini, kata Titi, juga harus menjadi pengingat bagi anggota KPU bahwa meskipun memiliki kewenangan strategis, mereka juga memiliki batasan. Yakni, terkait penegakan hukum dan penegakan etika.
"Ketika melakukan pelanggaran bisa jadi mereka selamat sekali, dua kali, tetapi kontrol masyarakat dan pengawasan publik akan selalu bekerja terhadap mereka, jangan sampau ada Hasyim Asy'ari lainnya di dalam penyelenggaraan pemilu dan Pilkada kita," tuturnya.
Sementara itu, Castro mengingatkan soal moralitas dan etika terhadap para penyelenggara pemilu. Sebab, setiap pelaksanaan aturan hukum harus berpedang pada moralitas dan etika.
"Di dalam hukum ada istilah law without morality useless, enggak ada gunanya, meskipun teman-teman mengatakan kita taat terhadap hukum, kita mematuhi hukum, punya rambu-rambu hukum, tapi kalau kita tidak taat tehadap etik, tidak taat terhadap moralitas ya enggak ada gunanya, yang terjadi ya seperti kasusnya Hasyim ini," tutur Castro.
(*Sumber: CNN Indonesia /Andi*)