RESTRUKTURISASI KREDIT BANK BERMASALAH DAN ASPEK HUKUMNYA

Tidak ada komentar


Tangerang,-- Mitrapubliknews.com,--Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa kegiatan usaha Bank Umum adalah menyalurkan kredit (Pasal 6 huruf b). Kredit yang disalurkan oleh bank kepada nasabahnya merupakan utang yang sewaktu sesuai yang diperjanjikan harus dikembalikan oleh nasabah selaku debitur.


Contoh kasus debitur yang marak terjadi ditengah masyarakat kita, kredit bank bermasalah penunggakan angsuran selama berbulan-bulan dan nasabah debitur yang tidak memenuhi prestasi membayar angsuran kredit bank dan bunga serta biaya lainnya, serta yang tidak sempurna membayar angsuran misalnya setiap bulan harus mengangsur Rp. 3.000.000,- tetapi yang dibayar hanya sebesar Rp. 2.000.000.- merupakan contoh tidak sempurna memenuhi suatu prestasi. Demikian pula dalam hal terlambat tidak memenuhi prestasi, mengangsur kredit ke bank yang menyebabkan sebagai suatu situasi kredit bermasalah.


Pertanyaannya : 

Bagaimana penyelesaian kredit bank bermasalah secara restrukturisasi Dan apa konsekuensi hukum dari restrukturisasi kredit bank?

Jawabannya adalah:

- Penyelesaian Kredit Bank Secara Restrukturisasi Bentuk penyelesaian kredit bank bermasalah melalui proses restrukturisasi merupakan bentuk penyelesaian kredit secara internal, belum sampai kepada penyelesaian sengketa baik sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan (litigasi) maupun non litigasi seperti melalui alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian secara internal berlangsung hanya di antara bank selaku kreditur dengan nasabah debitur untuk membahas berbagai aspek menyangkut pemberian kredit yang sudah bermasalah, Dan penyelesaian berdasarkan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka lingkup dari Alternatif Penyelesaian Sengketa relevan pada proses restrukturisasi kredit bank bermasalah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 merumuskan pada Pasal 1 Angka 11, bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli. Berdasarkan rumusan tersebut, yang relevan untuk ditempuh pada proses restrukturisasi kredit bank antara lainnya : konsultasi, negosiasi dan mediasi.

Kedudukan nasabah debitur yang kreditnya bermasalah dengan menempuh penyelesaian sengketa dengan bank menurut cara konsultasi, negosiasi maupun mediasi, merupakan cara-cara yang lazim digunakan. Pada cara negosiasi misalnya, yang dimaksudkan dengan negosiasi adalah suatu proses tawar menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak. Mirip dengan negosiasi ialah konsultasi dan mediasi. Konsultasi adalah cara yang dilakukan oleh para pihak untuk membicarakan berbagai aspek yang dihadapi. 


Sedangkan mediasi adalah suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak Penyelesaian kredit bank bermasalah harus melalui restrukturisasi sebenarnya belum sampai pada taraf adanya sengketa atau konflik. Nasabah debitur yang kreditnya bermasalah oleh karena mempunyai tanggung jawab dan itikad baik dalam pelunasan kreditnya, merupakan nasabah debitur yang patut untuk dilindungi oleh karena memiliki itikad baik (goede throuw), seperti tetap menjalin komunikasi dengan bank yang bersangkutan, tetap berusaha untuk mencari solusi penyelesaian kreditnya yang bermasalah, dan lain sebagainya.


Langkah restrukturisasi kredit bermasalah pada dasarnya adalah perbaikan atau perubahan terhadap struktur perjanjian kredit bank itu sendiri dan Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan dalam bidang perkreditan bank terhadap nasabah debitur yang mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya. Restrukturisasi kredit adalah kebijakan yang dilakukan oleh perbankan untuk memberikan kemudahan pembayaran kredit pada debitur, guna menghindari kredit macet. Suatu kredit dapat merugikan pihak bank maupun pihak nasabah itu sendiri, sehingga upaya penanganan atau penyelesaiannya menjadi titik pusat perhatian.


- Konsekuensi Hukum Dari Restrukturisasi Kredit adalah dengan jalan menambah kredit baru, sebenarnya juga mengandung risiko. Hal tersebut, karena kredit yang lama pun bermasalah, apalagi jika menambah kredit yang baru. Bagi pihak bank, penambahan kredit dengan ditempuh oleh karena melalui penilaiannya bahwa masalah yang dihadapi oleh nasabah debitur adalah keterbatasan dana berupa kredit.


Dalam hal penghapusan tunggakan pokok dan bunga pada waktu restrukturisasi kredit, sebenarnya bagi bank hal itu akan mengurangi pendapatan bank yang berbasis bunga. Tetapi, melalui penghapusan dan juga pengurangan tunggakan tersebut, akan mengurangi beban bagi nasabah debitur. Sedangkan mengenai jangka waktu kredit melalui restrukturisasi kredit, adalah penambahan jangka waktu dari jangka waktu semula. 


Jangka waktu atau durasi kredit pertama (semula) yakni selama 5 (lima) tahun, ketika kredit menjadi bermasalah pada tahun keempat, maka dilakukan restrukturisasi kredit dengan penambahan waktu yang menampung satu tahun kredit lama yang bermasalah. Hal tersebut bagi nasabah debitur akan memberikan peluang besar mengembangkan usahanya tanpa harus menghadapi kredit bermasalah. Penambahan jangka waktu melalui restrukturisasi kredit pada hakikatnya akan mengikat nasabah yang bersangkutan dalam jangka waktu yang lama, dengan konsekuensinya akan terjadi nasabah debitur seumur hidupnya berkutat pada upaya penyelesaian kreditnya.


restrukturisasi adalah bentuk penyelamatan kredit yang bermanfaat bagi bank dalam menghindari kerugian yang lebih besar. Penghapusbukuan kredit secara jelas merugikan bank karena tetap tercantum sebagai kredit macet, tidak tertagih dengan segala konsekuensi yang dapat timbul dalam pengelolaan kredit tersebut. Penghapusbukuan kredit macet merupakan langkah yang dihindari pihak bank, oleh karena risiko kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan restrukturisasi kredit, Perubahan perjanjian kredit melalui restrukturisasi adalah dasar hukum baru dari adanya hubungan hukum antara nasabah debitur dengan bank selaku kreditur, Hubungan dan dasar hukum baru tersebut dengan sendirinya menggantikan perjanjian kredit yang lama. 


Perubahan perjanjian kredit melalui suatu restrukturisasi kredit adalah langkah yang ditempuh sebelum bank menetapkan langkah akhir berupa eksekusi terhadap objek jaminan pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank senantiasa diikuti dengan klausul adanya jaminan khususnya dengan objek Hak Tanggungan, Jaminan ini pada dasarnya bagi pihak bank, telah terhindar dari kemungkinan kerugian di masa mendatang apabila terjadi kredit macet.


Dengan demikian, apabila misalnya seorang debitur dalam keadaan wanprestasi, maka lewat kewajiban jaminan umum ini, kreditur dapat minta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur, kecuali atas harta tersebut ada hak-hak lainnya yang bersifat prefensial. Terdapat pula jaminan khusus adalah setiap jaminan utang yang bersifat kontraktual, yakni yang terbit dari perjanjian tertentu (jadi tidak timbul dengan sendirinya), yang khusus ditujukan terhadap barang-barang tertentu, seperti gadai, hipotek, dan lain sebagainya. Benda objek jaminan seperti tanah atau rumah yang dijadikan jaminan pemberian kredit, ketika kredit macet akan dihadapkan pada akibat hukumnya yakni langkah bank melakukan eksekusi atas kehendaknya sendiri (kewenangannya) guna mengambil pelunasan utang kredit.


Eksekusi objek jaminan seperti Hak Tanggungan adalah suatu langkah akhir, yakni suatu langkah yang sebelumnya dapat dimulai dengan melakukan restrukturisasi kredit bermasalah. Manakala bagi pihak bank, ternyata nasabah debitur tidak kooperatif serta tidak beritikad baik menyelesaikan kewajiban membayar kredit beserta pokok dan bunganya, maka langkah eksekusi dapat ditempuh. Berbeda dengan restrukturisasi kredit, hubungan antara nasabah debitur dengan bank senantiasa terjalin, maka pada eksekusi jaminan dengan sendirinya hubungan menjadi putus. Pada objek jaminan kredit bank adalah Hak Tanggungan seperti hak atas tanah, hak atas rumah (bangunan) dan lainnya, ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.


Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Sumber data yang diperoleh dari beberapa bahan hukum, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.



__________ Thank you _________



By: Siti zulaeha /Angel

Tidak ada komentar